Selasa, 29 Januari 2008

Untuk Kehidupan Lebih Baik


Di Hari Minggu, 27 Januari 2008, Pak Harto meninggal. Berbagai macam apresiasi muncul dan seolah tumpah. Menunjukkan bagaimana sifat asli orang Indonesia. Ya, saya menilai sifat asli manusia-manusia Indonesia.

Ada yang sampai menangis tersedu-sedu, padahal dia tidak ada hubungan kekerabatan sama sekali dengan Pak Harto.

Ada yang diam dan terpaku di depan televisi, hingga tidak tidur dan bahkan tidak mematikan televisinya hingga memburu berita dengan berganti-ganti saluran televisi.

Ada yang berduyun-duyun ke cendana. Melihat secara live mantan orang nomor 1 di republik ini dan keluarganya yang tentu saja terlihat sangat kehilangan.

Ada yang rela gajinya dipotong sehari, gara-gara nggak masuk kerja di tanggal 28 Januari 2008, hanya untuk nonton siaran berita televisi dan radio. Karena tanggal inilah Pak Harto dibawa ke Astana Giribangun untuk dimakamkan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Pak Harto masih dapat mencuri hati rakyatnya untuk dapat mengikuti perkembangan atas dirinya. Baik saat dia sedang dirawat di RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina) di mana Tim Doker Kepresidenan bekerja dan menganalisa kondisinya, hingga ia harus terbang ke Surakarta menemui Sang Garwo yang sudah menunggunya di dalam Cungkup Argosari. Perhatian rakyat Indonesia masih tertuju padanya.

Saat dia sakit di RSPP, masih sempat-sempatnya manusia piter terpelajar yang namanya mahasiswa yang mengatasnamakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), berunjuk rasa di depan RSPP menuntut agar Pak Harto diadili.

Saya berpikir...apakah manusia pinter terpelajar dari Universitas sangat terkemuka di Jakarta dan Indonesia itu punya moral apa nggak? Mereka itu manusia apa binatang? Seperti itukah wajah penerus bangsa ini? Mereka adalah calon pemimpin bangsa ini. Bangsa yang bernama INDONESIA. Sepertinya saya keberatan bila mereka menjadi pemimpinnya. Saya tidak mau dipimpin oleh manusia yang tidak punya moral.

Belum lagi Pak Harto mencium bau tanah di samping pusara istrinya, di Jakarta ada lagi berdemo minta Pak Harto diadili. Saya menyebut mereka sudah nggak punya akal. Gila.

Di televisi juga marak orang-orang yang repot-repot menghabiskan waktunya untuk membahas pengadilan kasus-kasus Pak Harto. Sebenarnya, generasi muda ini adalah orang-orang yang memang pinter, sok pinter, pura-pura bodoh, atau benar-benar bodoh? Sehingga perbincangan seperti ini ramai sekali dibahas.

Keluarga Pak Harto memang harus rela perasaan mereka tercabik-cabik, melumat, luluh lantak, hancur sehancur-hancurnya. Sudah kehilangan orang tercinta, Bapaknya dicaci maki dan dibahas kejelekannya, dituduh mau lari dari pengadilan. Sewaktu Pak Harto masih jadi Presiden, mereka juga harus rela nggak ketemu Bapaknya untuk ngurusi negara, rakyat yang miskin dan kaya, yang bodoh dan kelewat pinter. Ya...tabah saja lah mas, mbak.

Waktu Pak Harto masih jadi Presiden...nggak satupun yang berani ngomong. Nggak satupun yang mbanyol, mbacot. Takut ya.... hal ini sangat berbeda waktu Pak Harto masuk RSPP, langsung saja demo, minta Pak Harto diadili. Begitu Pak Harto keluar dari RSPP, cep lagi, nggak ada yang ngomong lagi. Pengecut banget. Kalo kata orang Jawa, istilahnya ”wani silit wedhi rai”. Dan Indonesia memelihara orang-orang seperti itu. Orang-orang yang sama sekali tidak dapat dibanggakan oleh bangsa ini, orang yang sama sekali nggak patut dibanggakan oleh anak-anaknya. Masa anaknya harus bangga dan berkata :”Saya bangga pada orang tua saya yang beraninya sama orang sakit, kalo sudah sehat sembunyi di rumah. Orang tuaku pengecut.” Tapi, kalo ada seorang anak yang bangga sama orang tuanya yang begitu, sudah waktunya Indonesia ini tenggelam dan menjadi bagian dari Samudera Hindia. Karena keberadaan Indonesia hanya akan membawa keburukan bagi keberlangsungan kehidupan dunia di masa yang akan datang.

Indonesia, jangan memelihara orang-orang pengecut lah...jadikan rakyatmu ini bangga pada pemimpinnya. Yakinkan rakyatmu masih bisa hidup dengan menggali sawah sendiri, nggak jadi babu di negeri orang, nggak jadi babu di negerinya sendiri.

Sepertinya Tapol dan Napol yang di penjara oleh Pak Harto lebih terhormat daripada generasi pinter terpelajar yang sekolah di universitas di manapun yang cuma pinter ngomong tanpa melakukan sesuatu selain menuntut dan demo. Buat sekolah dan makan aja minta ke orang tua, nggak becus cari biaya sekolah dan makan sendiri.

Mungkin tulisanku ini terdengar sangat subjektif ya...terdengar membela Pak Harto. Coba dipikir pakai otaklah, jangan emosional. Pingin hidup instan. Meskipun hampir tiap hari makan mie instan, mikir jangan instan, berkeinginan jangan instan. Lakukan yang terbaik buat hidup besok. Jadikan diri ini bisa dibanggakan oleh istri dan anak-anak. Lakukan sesuatu yang nyata untuk kehidupan lebih baik.

Jumat, 18 Januari 2008

Jember Fashion Carnaval, Wisata Mode Indonesia


Gila.......!!!!!!!!!!!!

Jember punya event baru (paling tidak buat saya, karena saya ngerantau ke negeri orang)

Jember Fashion Carnaval

Waktu saya click ke www.jemberfashioncarnaval.com
Saya ketemu satu web yang nggak lokalan
Salut buat penggagasnya dan tentu saja semua yang terlibat
Foto-fotonya nggak kalah sama yang sering dilihat di tivi
Seperti karnaval di Pasadena


Mudah-mudahan upaya ini akan mampu mengangkat profil tanah airku tercinta, JEMBER, untuk bicara di nasional maupun di internasional
Salut....!!!!!!



Rabu, 16 Januari 2008

Abdul Hakim Afrizal


Aku datang bersama pengembanmu
Saat mentari masih belum terlahir untuk menerangi bumi hari itu
Bahkan serangga malam pun masih setia berlantun syahdu
Menyairkan kidung-kidung indah di hulu shubuh

Dan engkau tak mengetahui itu

Aku melihatmu dari balik kelambu
Melihatmu dengan kebanggan pengembanmu
Kau masih mengatpkan kelopak matamu
Tenang...

Lalu pengasuh abadimu meraih tubuhmu yang legam itu
Kau tidak menangis
Seperti tak mau menyusahkan pengasuh abadimu dengan tagisanmu
Dia berikan yang kamu mau dengan kasih sayangnya yang abadi pula

Lama aku mengintipmu dari balik kelambu
Dadaku sedikit berdetak melihatmu
Semakin memacu berkejaran dengan waktu
Meski dari balik kelambu

Dan engkau masih tak mengetahuinya

Entah apa yang di diriku
Aku semakin ingin melihatmu
Semakin terjerat pada keinginan untuk menyentuhmu
Tanpa kelambu

Pengembanmu meraihku
Untuk melihatmu lebih dekat
Tiba-tiba aku sudah ada di dekatmu
Dekat sekali
Benar-benar tanpa kelambu

Kau teruskan mimpimu
Lelap dalam kasih
Tak kau hiraukan aku yang meluruhkan sejarah keangkuhanku di depanmu
Tepat di depanmu

Kau hitam
Kecil
Banyak tingkah
Begitu kalbuku membatinmu

Kusentuh tubuhmu yang hangat
Tak menggeliat
Apalagi ingin melihat

Kusayang kamu
Kuciumi kamu
Dalam hati aku seperti tenggelam

Betapa engkau tak tahu siapa yang memelukmu
Engkau tersenyum meski tak melihatku
Aku tersenyum melihatmu

Kenapa aku begini
Akupun tak tahu jawabnya
Kau seperti bagian dariku
Meski aku bukan pengembanmu
Bukan pula penanggung pengasuh abadimu
(ditulis 12 Oktober 2003)


Abdul Hakim Afrizal, dia seorang lelaki kecil, hitam legam saat bayi, tapi sekarang sudah nggak sehitam dulu. Terlahir di Wonosobo, 11 September 2003.




Ada 1 lagi buat dia.


Saat Kau Terlahir dan Memulai Syukur Kami

Sayang, sayang
Kau selalu menangis saat kau punyai keinginan
Tersenyumlah
Bapak inginkan itu

Sayang, sayang
Kau tersenyum seakan menyambut
Berbahagialah
Ibu do'akan itu untukmu

Airmata bahagia menitik di sudut mata
Sebuah kehidupan baru dimulai

Di sampingmu kami selalu mendampingi
Di bahumu seluruh harapan akan tergantikan

Kasihi sesama
Sayangi saudara

Sayang, sayang
Tidurlah tidur
Hari mulai senja
Akankah kau nikmati indahnya senja bersama bapak dan ibumu

Saat kumandang persembahan kepada Sang Maha Kuasa
Kau mulai terlelap
Dalam wajah mungilmu
Dalam kasih dan damai
(ditulis 08 Februari 2004)


Senin, 14 Januari 2008

Purwakarta, 13 Januari 2008


Kemarin, 13 Januari 2008, saya pergi ke satu desa yang terkenal dengan kerajinan keramik di Purwakarta. Plered nama desanya. Maksud dan tujuannya hanya sekedar nonton bola. Yang main temen-temen kerja di perusahaan lama.

Jamuan Sang Tuan Rumah lumayan mengenyangkan. Kami diajak makan siang dengan menu khas kampung. Nasi putih dengan ikan mujahir, sambel bawang, sudah. Ada juga bungkusan nasi ayam.


Ada 3 games yang harus dimainkan.

Game 1 dimainkan. Saya benar-benar ingin tertawa. Atau bahkan terbahak. Coba bayangkan, karyawan pabrik (yang termuda katakanlah umur 18-19 tahun) harus melawan tim yang anggotanya terdiri atas usia 10 hingga 15 tahun. Siapa yang nggak ingin tertawa ? Lebih ironisnya lagi, tim tua (karyawan) kalah 1-0.

Baru seusai game 1 dimainkan, ceritaku ini akan kumulai.

Usai game 1 dimenangkan oleh tim muda (usia 10-15 tahun), game 2 siap dimulai. Penonton mulai berdatangan diikuti para pedagang keliling. Ada satu pedagang yang menarik perhatian saya. Seorang ibu, usia sekitar 35-38 tahun, kulit coklat khas Indonesia, dengan penutup kepala, membuka koper kayu yang dia bawa di atas kepala. Isinya macam-macam. Rokok, kratingdeng, kacang, permen, aqua cup, milkuat. Nggak terlalu banyak, sesuai muatan koper kayunya.

Dia gelar dagangannya. Beberapa penonton membeli barang dagangannya, tapi nggak banyak. Prediksi saya dalam 3 games bola omzetnya 15.000 IDR. Mungkin itu juga yang membuat dia harus berlarian dan berebut plastik aqua cup bekas minum saat tim bola turun minum.

Belum selesai istirahat babak 1, beberapa pemain masih minum, beberapa membuang cup plastik aqua. Tiba-tiba perempuan itu memungut cup-cup bekas dan dikumpulkan. Mungkin untuk dijual.

Sejenak saya menghentikan pandangan di sana. Tepat pada perempuan dengan cup plastik bekas. Adakah ia bisa mencukupi kebutuhan untuk keluarganya dengan apa yang kerjakan.....

Heeeehhhhhh......helaan nafas saya nggak merubah hidup. Helaan nafas itu juga nggak merubah apa-apa kecuali mengagetkan anak yang dari tadi berada dipangkuan.

Saya yakin bahwa nggak hanya perempuan pedagang itu satu-satunya potret kehidupan middle low di sekitar kita.

Bisa nggak dibayangkan:
  • Berapa keuntungan mereka dalam sebulan...?
  • Bisakah dengan keuntungan itu mereka dapat hidup layak, untuk makan, sekolah anak-anak, bayar listrik (kalau di rumah ada listrik)...?
  • Bagaimana mereka bertahan hidup di antara keadaan yang berbeda dari rakyat sekitar dia?



Jakarta yang hingar bingar dengan cafe, restoran, mall, mobil mewah...

Berjarak sekian kilometer dari Jakarta..., sekian kilometer dari Bandung...

Keadaan sunyi senyap...

Lampu kerlap-kerlip seperti bintang, nggak cukup untuk menerangi mata yang sudah rabun


Nama desa cukup terkenal sebagai sentra kerajinan keramik
Nggak cukup kuat untuk mengangkat kehidupan orang-orang yang hidup di dalamnya untuk hidup dengan baik

Apa yang bisa kita bagi untuk generasi mendatang, hingga hidup mereka nanti tidak meneruskan potret kehidupan miskin nenek moyang mereka.

Apa yang bisa kita wariskan untuk anak-anak kita...?

Jumat, 11 Januari 2008

Sedikit Berbagi




Rp.10.000,-/hari MUNGKIN bagi sebagian orang hanyalah

Sekotak rokok Marlboro beserta korek api
Sebagian uang jajan sekolah anak anda
Setengah biaya makan siang bersama teman kantor
Setengah biaya anak anda bermain di Matahari Timezone
Sepertiga harga tiket Cinema 21
Seperlima harga dari secangkir coffeelatte di Starbucks
Sepersepuluh biaya rekreasi anda bersama teman atau pasangan anda
atau bahkan hanya sebagian kecil dari penghasilan anda setiap bulannya
dan sebagainya

Hanya untuk diperhatikan saja bahwa banyak orang-orang di sekitar kita atau bahkan satu atau dua diantaranya adalah kelarga, sanak atau saudara kita tidak dapat merasakan apa yang digambarkan di atas hanya karena Rp.10.000,- merupakan pendapatan utama mereka sehari-harinya.


Frase-frase di atas saya terima tadi pagi dari seorang sales asuransi yang menawarkan produknya.
Tapi Tulisan tebal di bawahnya tambahan dari saya.
Setelah bernafas teratur sejenak, baru saya tersadar bahwa frase-frase di atas patut untuk dijadikan renungan.
Diawal tahun Masehi maupun Hijrah.

Syukur akan membuat kita menjadi merasa lebih kaya dari yang lain. Berbagi sedikit saja dari seseorang, bisa jadi yang sedikit itu bernilai banyak di mata orang lain.


Wah, bermain-main dengan teori...ini hanya sebuah pembelajaran. Satu pembelajaran dari orang yang nggak akan pernah berhenti belajar sampai habis hidupnya.