Selasa, 17 Maret 2009

Pesan dari Pemilik Modal

Seringkali saya merasa malu dengan orang lain
Terlebih lagi pada diri saya sendiri
Kemarahan yang tak dapat ditahan ketika saya hanya ingin marah
Hanya ingin marah

Tidak satupun orang yang luput dari kemarahan saya
Tidak satu hatipun yang tidak saya paku pagar rumahnya
Meski tak perlu saya cabut paku di pagar itu, paku-paku itu tercabut sendiri dari pagar hati mereka
Karena mereka saya anggap sebagai anjing-anjing saya

Saya tidak peduli siapa mereka
Karena mereka adalah anjing-anjing saya
Apapun yang saya ucapkan, menjadi mantra mujarab yang akan menjadi kenyataan

Saya tidak peduli apakah mereka punya hati atau tidak
Yang penting...
Saya hanya ingin marah
Pokoknya marah

Saya tahu apa yang anjing saya lakukan untuk saya
Mereka bekerja untuk saya
Mereka kerja untuk membiayai penerbangan saya
Mereka menghasilkan uang untuk kesenangan saya
Modalnya kan memang dari saya

Apa esensi kemarahan saya pada mereka
Saya sendiri tidak tahu
Saya hanya ingin menusukkan paku ke pagar hati mereka
Saya tidak peduli berlubang ataukah tidak
Saya tidak punya urusan dengan ketersinggungan hati mereka
Mereka masih butuh makan
Mereka pasti masih akan mengekor pada saya dan meminta saya untuk mengulurkan tangan saya untuk mereka

Rabu, 11 Maret 2009

Pelajaran atau sebuah sign...?

Saya nggak ngerti...

Banyak hal yang saya pahami sebagai sebuah pembelajaran. Banyak hal yang menyenangkan yang seringkali lupa untuk disyukuri. Dan ketika kesempitan datang, hanya bisa kembali pada Alloh, duduk bersimpuh, hanya bisa meminta dan terus meminta tanpa ada kontribusi yang berarti yang dilakukan di jalan-Nya.

Sering kali diri ini merasa malu ketika datang kepada Alloh dengan setumpuk beban pikiran. Malu karena bisanya hanya meminta, memohon, dan bersedih dengan permasalahan yang dibawa. Tapi ketika kelapangan datang, ketika Alloh membimbing untuk menuju kelegaan, kembali pikiran ini hanya tertuju pada yang namanya keduniawian. Ya Alloh, mudah-mudahan saya bukan termasuk dalam orang-orang yang melampaui batas...

Beberapa manusia bahkan tidak tahu bahwa dia ada yang menciptakan. Mereka hanya berpikir bahwa keberadaannya adalah konsekuensi dari hubungan ayah ibunya. Sehingga dia tidak menyadari bahwa ada konsekuensi logis abstrak dari setiap hal yang dilakukannya. Konsekuensi abstrak yang dimaksud adalah dosa dan atau pahala sebagai akibat dari apa yang telah dilakukan.

Ketika hidup dianalogikan seperti orang yang berjualan di atas kereta, yang berhenti di setiap stasiun kota, berpindah dari kereta satu ke kereta lainnya, hingga tidak disadari bahwa kemana kereta ini berjalan, karena hanya ingin mengejar setoran yang hanya didapatkan di atas kereta, waw...gak keluar dari logika kan kalo orang semacam ini sampai bingung untuk pulang, karena dia tidak tahu kemana kereta yang dia kejar-kejar itu berakhir.

Ya...itu hanya analogi saya saja, yang dianggap bodoh...gak ngerti kalo banyak dibohongi karena sebuah kepentingan...
Ya konsekuensi logisnya jangan pernah menyalahkan orang lain kalau orang yang menganggap orang lain itu bodoh, orang yang membohongi orang lain demi kepentingannya itu...tidak dipercaya dan tidak dianggap oleh orang lain.

Kalo masih belum ngerti dengan 2 kalimat terakhir di atas, coba direnungkan lagi...
Apakah Anda termasuk orang yang demikian atau tidak.

Terima kasih untuk pembelajaran hari ini yang begitu menyakitkan tapi berarti.

Selasa, 03 Maret 2009

Antara Jakarta - Surabaya


Ada pro-kontra atas keinginan saya untuk kembali ke Jawa Timur.

Beberapa sahabat memberikan dukungannya atas keinginan itu, saya berpikir paling tidak untuk menyambung silaturahmi yang memang sudah lebih dari 10 tahun tidak terjalin dengan baik. Hanya telp, YM, Facebook, Blog yang jadi alat untuk menjalin komunikasi.

Apalagi keluarga & saudara. Do'a mereka pada Alloh bagi saya untuk sebuah keinginan agar saya dapat kembali ke Surabaya dengan kehidupan yang sama dengan di Cikarang.

Memang hampir tidak ada beda pola kehidupan di Jakarta & Surabaya. Hampir sama, hanya saja di Jakarta jenis etnis yang berebut makan lebih banyak daripada di Surabaya.

Tapi, beberapa sahabat pula menyarankan agar saya tetap stay di Jakarta. Meski entah sampai kapan, selama potensi di Jakarta masih bisa di-explore, lebih baik tetap stay di Jakarta.

Hati dan logika terkadang memang nggak bisa nyambung.

Ketika hati menginginkan untuk melakukan sesuatu demi ketenangannya (perasaan), logika mengajak untuk melakukan sesuatu yang bisa diterima olehnya (otak).

Terkadang saya bertanya pada diri saya (baik pada hati maupun pada logika):
"Apakah saya termasuk orang yang tidak bersyukur atas segala rizki yang diberikan oleh-Nya?"
"Kenapa selalu ada yang kurang, baik dari hati maupun dari logika, untuk dapat mewujudkan cita-cita?"

Terkadang terjadi gejolak dalam diri saya sendiri.

Ketika saya berada pada zona kenyamanan di Jakarta, tidak terlintas tentang bagaimana keluarga & saudara saya di Surabaya.
Ketika saya berada di Surabaya, tidak ada keinginan untuk kembali ke Jakarta, meski di beberapa sudut kota, Jakarta lebih gemerlap dibandingkan Surabaya.

Kuantitas teman-teman saya ternyata memang lebih banyak di Jakarta, meski mereka notabene-nya kaum urban yang juga berasal dari Jawa (Timur).

Saudara sepertemanan saya dari Malang, begitu mensupport saya untuk kembali ke timur.
Teman facebook saya dari Surabaya menyarankan bahwa stay di Jakarta jauh lebih baik daripada pulang kampung.

Ya...sudah lah.
Nang endi ae Gusti Alloh ngelungno rejeki, yo nang kono Insya Alloh aku ambek keluargaku nadahi lung-lungane Gustiku. Nyuwun barokahing urip, ngabdi marang Gusti, nyenengno sanak sadulur, nuntasno tugas sebagai kholifah, kanggo anak-bojo & wong tuwo.

Dungane yo...