Selasa, 23 Juni 2009

Dirimu Dirinya by Pinkan Mambo





Saat ku pertama menatap dalam dirimu
Ku begitu yakin ini cinta
Tatap dirinya, rasa ku pun juga sama
Kumencintai dirimu dan mencintai dirinya

Tak ingin hidup tanpa rasa bahagia
Bahagia ku bila banyak cinta
Untukmu setia, namun hidup rasa hampa
Bukannya aku jahanam
Ku hanya mencari senang

Hatiku tak ’kan bisa berdusta
Cinta ini memang untuk dirimu
Dan untuk dirinya

Dan bila diantara kita menghilang
Tak kembali untuk selama-lamanya
Tak mungkin kusendiri, ‘kan kucari lagi

Tak ‘kan kubuang waktu
Tanpa cinta ku merana
Hatiku tak ’kan bisa berdusta
Cinta ini memang untuk dirimu
Dan untuk dirinya

Dan bila diantara kita menghilang
Tak kembali untuk selama-lamanya
Tak mungkin kusendiri, ‘kan kucari lagi

Rabu, 17 Juni 2009

Aku Manusia






Ketika engkau membumbungkan anganmu ke langit ke tujuh
Mata, rasa dan pikiranmupun akan melayang ke langit ke tujuh
Harapmu sangat tinggi
Inginmu melayang melampaui kakimu yang harus kau sadari masih memijak bumi
Engkau adalah manusia

Engkau membumbungkan aganmu ke langit ke tujuh
Meninggalkan bumi dan kemanusiaanmu
Engkau tak menyadari bahwa engkau masih manusia
Masih manusia

Anganmu mencekikmu
Harapmu menghempas tubuhmu hingga remuk redam
Tak berbentuk

Oleh karena angan yang kaubentuk telah meninggalkan ragamu
Oleh karena rasamu jauh meninggalkan tubuhmu
Engkau tak menyadari bahwa engkau masih manusia

Angan tak selamanya bisa dinyatakan
Rasa tak selamanya menuruti kata hati
Bila engkau menuruti angan
Bila engkau menuruti kata hati
Engkau hanya menunggu ajal yang akan menyempitkan kuburmu

Hidup indah, matipun indah
Bagai air mengalir tanpa dipaksa kemana air ini akan menuju
Bukankah telah takdirnya bahwa air akan menuju laut lepasnya

Oleh karena engkau masih di bumi
Aku inginkan engkau berada dibumi
Bukan di langit ke tujuh

===
Gunakan akal sehat untuk bertindak sesuatu
Hati yang kaumanjakan akan sangat menyakitimu
Jejakkan kakimu ke bumi
Maka sadari bahwa engkau harus berinteraksi dengan lebih banyak manusia
Di bumi

Selasa, 16 Juni 2009

Teladan Seorang Ayah (Sebuah Forward)






Yang ayah wariskan kepada anak-anaknya bukan kata-kata atau kekayaan, tetapi sesuatu yang tak terucapkan yaitu teladan sebagai seorang pria dan seorang ayah - Will Rogers

Setahuku, botol acar besar itu selalu ada di lantai di samping lemari di kamar orangtuaku. Sebelum tidur, Ayah selalu mengosongkan kantong celananya lalu memasukkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Sebagai anak kecil, aku senang mendengar gemerincing koin yang dijatuhkan ke dalam botol itu. Bunyi gemericingnya nyaring jika botol itu baru terisi sedikit. Nada gemerincingnya menjadi rendah ketika isinya semakin penuh. Aku suka jongkok di lantai di depan botol itu, mengagumi keping-keping perak dan tembaga yang berkilauan seperti harta karun bajak laut ketika sinar matahari menembus jendela kamar tidur.

Jika isinya sudah penuh, Ayah menuangkan koin-koin itu ke meja dapur, menghitung jumlahnya sebelumnya membawanya ke bank. Membawa keping-keping koin itu ke bank selalu merupakan peristiwa besar. Koin-koin itu ditata rapi di dalam kotak kardus dan diletakkan di antara aku dan Ayah di truk tuanya. Setiap kali kami pergi ke bank, Ayah memandangku dengan penuh harap. "Karena koin-koin ini kau tidak perlu kerja di pabrik tekstil. Nasibmu akan lebih baik daripada nasibku. Kota tua dan pabrik tekstil disini takkan bisa menahanmu." Setiap kali menyorongkan kotak kardus berisi koin itu ke kasir bank, Ayah selalu tersenyum bangga. "Ini uang kuliah putraku. Dia takkan bekerja di pabrik tekstil seumur hidup seperti aku.".

Pulang dari bank, kami selalu merayakan peristiwa itu dengan membeli es krim. Aku selalu memilih es krim cokelat. Ayah selalu memilih yang vanila. Setelah menerima kembalian dari penjual es krim, Ayah selalu menunjukkan beberapa keping koin kembalian itu kepadaku. "Sampai di rumah, kita isi botol itu lagi."
Ayah selalu menyuruhku memasukkan koin-koin pertama ke dalam botol yang masih kosong. Ketika koin-koin itu jatuh bergemerincing nyaring, kami saling berpandangan sambil tersenyum. "Kau akan bisa kuliah berkat koin satu penny, nickle, dime, dan quarter," katanya. "Kau pasti bisa kuliah. ayah jamin."
Tahun demi tahun berlalu. Aku akhirnya memang berhasil kuliah dan lulus dari universitas dan mendapat pekerjaan di kota lain. Pernah, waktu mengunjungi orangtuaku, aku menelepon dari telepon di kamar tidur mereka. Kulihat botol acar itu tak ada lagi. Botol acar itu sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah di pindahkan entah ke mana. Leherku serasa tercekat ketika mataku memandang lantai di samping lemari tempat botol acar itu biasa di letakkan.

Ayahku bukan orang yang banyak bicara, dia tidak pernah menceramahi aku tentang pentingnya tekad yang kuat, ketekunan, dan keyakinan. Bagiku, botol acar itu telah mengajarkan nilai-nilai itu dengan lebih nyata daripada kata-kata indah.
Setelah menikah, kuceritakan kepada susan, istriku, betapa pentingnya peran botol acar yang tampaknya sepele itu dalam hidupku. Bagiku, botol acar itu melambangkan betapa besarnya cinta Ayah padaku. Dalam keadaan keuangan sesulit apa pun, setiap malam Ayah selalu mengisi botol acar itu dengan koin. Bahkan di musim panas ketika ayah diberhentikan dari pabrik tekstil dan Ibu terpaksa hanya menyajikan buncis kalengan selama berminggu-minggu, satu keping pun tak pernah di ambil dari botol acar itu. Sebaliknya, sambil memandangku dari seberang meja dan menyiram buncis itu dengan saus agar ada rasanya sedikit, Ayah semakin meneguhkan tekadnya untuk mencarikan jalan keluar bagiku. "Kalau kau sudah tamat kuliah," katanya dengan mata berkilat-kilat, "kau tak perlu makan buncis kecuali jika kau memang mau."

Liburan Natal pertama setelah lahirnya putri kami Jessica, kami habiskan di rumah orangtuaku. Setelah makan malam, Ayah dan Ibu duduk berdampingan di sofa, bergantian memandangku cucu pertama mereka. Jessica menagis lirih. Kemudian susan mengambilnya dari pelukan Ayah. "Mungkin popoknya basah," kata susan, lalu di bawanya Jessica ke kamar tidur orangtuaku untuk di ganti popoknya.
Susan kembali ke ruang keluarga denga mata berkaca-kaca. Dia meletakkan Jessica ke pangkuan Ayah, lalu menggandeng tanganku dan tanpa berkata apa-apa mengajakku ke kamar. "Lihat," katanya lembut, matanya memandang lantai di samping lemari. Aku terkejut. Di lantai, seakan tidak pernah di singkirkan, berdiri botol acar yang sudah tua itu. Di dalamnya ada beberapa keping koin.
Aku mendekati botol itu, merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan segenggam koin. Dengan perasaan haru, kumasukkan koin-koin itu kedalam botol. Aku mengangkat kepala dan melihat Ayah. Dia menggendong Jessica dan tanpa suara telah masuk ke kamar. Kami berpandangan . Aku tahu, Ayah juga merasakan keharuan yang sama. Kami tak kuasa berkata-kata.

-----> : Sebuah cerita yang luar biasa bukan ? Inilah sebuah cerita yang menunjukkan besarnya cinta seorang ayah ke anaknya agar anaknya memperoleh nasib yang jauh lebih baik dari dirinya. Tetapi dalam prosesnya, Ayah ini tidak saja menunjukkan cintanya pada anaknya tetapi juga menunjukkan sesuatu yang sangat berharga yaitu pelajaran tentang impian, tekad, teladan seorang ayah, disiplin dan pantang menyerah. Saya percaya anaknya belajar semua itu walaupun ayahnya mungkin tidak pernah menjelaskan semua itu karena anak belajar jauh lebih banyak dari melihat tingkah laku orangtuanya dibanding apa yang dikatakan orangtuanya. Semoga cerita ini menginspirasi bagi kita semua

Minggu Pagi






Hari Minggu, 14 Juni 2009. Ada sedih yang diam-diam menyelinap di lipatan hati saya. Sebuah keprihatinan yang dengan berani dihadapi.

Kurang lebih 2 bulan yang lalu, adik ipar teman lamaku, sebut saja dia Budi, tinggal di rumahku. Sebelumnya dia kost dengan teman dari kakak iparnya. Karena teman sekamarnya itu menikah, maka Budi tinggal di rumahku.

Selama 2 bulan itu, terus terang aku merasa sedikit terbantu. Paling tidak ada teman ngobrol saat insomnia datang, ada teman makan saat tengah malam kelaparan, ada yang bangunin buat bangun pagi supaya nggak telat masuk kerja. Tapi ya sudah...Budi sudah ambil langkah. Aku nggak mau memaksakan apa yang ada di kepalaku, meski di kepalaku, langkah yang dia lakukan tidak merubah kondisinya.

Memang kakak Budi, sebut saja dia Wati, masih baru sampai Jakarta. Ceritanya baru merantau. Baru ke Jakarta. Wati tinggal dengan teman kakaknya, istri dari teman lamaku. Wati masih merasa takut saat pulang kerja, maklumlah track yang harus ditempuh dari tempatnya kerja ke tempat kost lumayan jauh.

Budi terlihat sangat bertanggung jawab atas keberadaan dan kenyamanan kakaknya. Hingga pada hari Minggu 14 Juni 2009 lalu, dia menemukan satu tempat kost.

Hari itu, saat Budi keluar,aku masih tidur. Hari Minggu adalah hari merdeka untuk melepaskan kepenatan. Aku terbangun kurang lebih jam 9.00 pagi. Budi membawa motor milik kakak iparnya. Melihat aku sudah bangun, dia berpamitan. Dia kemasi pakaiannya yang tersimpan di lemariku.

Melihat dia mengemasi pakaiannya, aku masih nonton acara tv. Menjelang dia selesai berkemas, aku mandi dan mengantar dia ke tempat barunya.

Nggak jauh dari rumahku. Bila ditempuh dengan jalan kaki, kurang lebih hanya 15 menit. Sesampai di sana... Ya Alloh, hatiku sedih sekali. Sangat sedih. Layak...memang nggak sangat layak, tapi cukuplah. Tempat kost ku di Gresik dulu lebih buruk lagi.

Sedihku sangat menyesak saat aku membantu Budi memasangkan koran sebagai pengganti tirai di jendelanya. Ya Alloh...sebegitu besar keinginan dia untuk kost.

Tapi sekali lagi sudah lah...aku hanya bisa membantu saat dia dan atau siapapun butuh bantuanku. Aku nggak mau memaksa, khawatir dibilang terlalu banyak menuntut dari sebuah pertemanan. Hanya saja, pintu rumahku selalu terbuka.

Senin, 15 Juni 2009

Aku Hanyalah Usaha







Ya Robbi
Engkau yang tahu rahasia apa yang ada di depanku
Engkau yang tahu rahasia yang ada dibalik setiap hati
Hatiku...
Hatinya...

Bila semua kupasrahkan hanya pada-Mu
Kebaikanku...
Keburukanku...
Kebaikannya...
Keburukannya...
Aku selalu berharap, Engkau yang akan mendinginkan kepalaku untuk tetap menjalankan peranku sebagai manusia

Tak ada baik seluruhnya
Tak ada buruk sepenuhnya
Karena aku bukanlah sempurna
Aku hanyalah usaha

Pertemuanku dengan...






Terkadang kita bertemu dengan orang-orang yang berkualitas tinggi
Kadang pula berinteraksi dengan orang yang cukup berkualitas
Tapi tidak sering atau bahkan tidak jarang kita bertemu dengan orang yang memang tidak berkualitas

Sepengalaman saya, paling menyenangkan bertemu dengan orang-orang yang interest terhadap improvement, baik pada dirinya sendiri mupun pada lawan bicaranya.

Orang berkualitas tinggi, belum tentu mau melayani saya bila dia tidak interest dengan improvement yang ingin saya buat untuk diri saya (tapi itu tidak semua). Bila orang berkualitas tinggi ini dibarengi dengan tingginya kualitas kepribadiannya, dia adalah orang yang paling menyenangkan. Bila orang semacam ini interest terhadap saya, betapa bahagianya saya. Saya akan bisa belajar banyak darinya. Tanpa ada kesombongan, tanpa ada waktu yang terbuang percuma, tanpa ada kata-kata menyakitkan, dia merendahkan hatinya di hadapan saya padahal aktualnya dia memberikan hal berharga pada saya, bagi saya ini adalah pribadi yang mahal. Pribadi bisa mem-positioning-kan dirinya dengan tepat dengan lawan bicaranya, posisi yang dirasa sejajar oleh lawan bicaranya meski aktualnya dia jauh lebih tinggi nilainya.
Mudah-mudahan kita bisa bertemu dengan orang seperti ini, agar kualitas hidup kita semakin baik.

===

Orang yang berkualitas sedang biasanya suka membelot. Artinya dia melihat kondisi yang menguntungkan bagi dia. Kadang berkualitas, kadang nggak sama sekali, tergantung situasi & kondisi (sikon). Terkadang tega untuk berkhianat pada orang terdekat hanya untuk membela keinginannya. Tapi dia berkualitas. Ilmu terapannya banyak, dia orang yang berpengaruh di tempat kerjanya. Dia decision maker. Tapi tidak dibarengi oleh berkualitasnya kepribadian.
Bertemu orang ini, sekali lagi tergantung sikon. Kadang membawa manfaat, kadang hanya menjengkelkan. Kadang juga hanya membuang waktu, meski tidak 100% percuma. Hanya saja dari 100% porsi pembicaraannya, hanya 30%-40% saja yang bermanfaat. Selebihnya kelakar usang.

===

Orang yang tidak berkualitas, kadang berpenampilan seperti berkualitas. Jumlah orang seperti ini sangat banyak. Apa yang dilakukan hanya menghabiskan waktu saja, waktu saya dan juga waktu dia. Bertemu dengan orang tidak berkualitas, tidak 100% rugi. Keinginan saya terkadang terpenuhi oleh orang-orang semacam ini. Pekerjaan saya mewajibakan saya untuk bertemu dengan banyak orang, termasuk orang yang tidak berkualitas ini. Menjengkelkan...hampir terjadi disetiap pertemuan saya dengan orang semacam ini. Tapi memang terbantu juga sih...kadang. Meski bagaimanapun tidak bisa juga menafikan mereka. Malangnya lagi adalah ketika mereka tidak merasa bahwa mereka tidak berkualitas, merasa berkualitas, dan apa yang dilakukan...meski hanya menghambur-hamburkan waktu, ngobrol kesana-kesini, tertawa yang dilebar-lebarkan agar perhatian tertuju. Ini adalah kualitas mereka. Dan hari ini saya bertemu dengan orang-orang seperti ini.

Kamis, 11 Juni 2009

Surprises

Satu-satu....teman-teman lama mulai terajut. Dari seseorang yang bernama Feri, seorang teman lama yang nggak pernah terlupakan gara-gara banyak cekiki'an. Sekarang dia malah jadi motivator kawakan (he..he..). Bener-bener hilangkah selera cekiki'annya itu. Rasanya masih belum, sering kali telepon, tapi tetep aja sama...seperti 11 tahun lalu.

Pelan dan pasti...satu lagi datang. Namanya April Biru, atau yang dengan senang hati dia dipanggil dengan nama barunya, Magic Jempol.

Berikutnya si gendut Agus arek Ajung. Jauh-jauh dia telp saya pake GSM pulsa mahal, hanya untuk bilang: "Hai ndri... aku Agus...jek eleng ta..??"
Yo jelas aku eleng. Suaranya itu lo, gak berubah.

Masih sangat pelan. Dan satu lagi surprise bagi saya. Satu teman lama lagi. Namanya Phieyos.

===

Memang hidup itu unik ya...
Yang diharapkan datang, malah nggak datang-datang...
Yang nggak terpikirkan (bukan berarti terlupakan), malah buat surprise ketemu mendadak...
Bahkan saudaraku yang sudah 13 tahun nggak ketemu, baru-baru ini ketemu di Jakarta (Hallo mbak Miming & mbak Nanik).