Sebuah kebahagiaan yang tak pernah dapat ditakar. Ketika do’a yang selama ini dipanjatkan dijawab oleh-Mu. Bukan pengkabulan do’a, tapi apa yang kuminta justru telah membuatku semakin lelah.
Kisah demi kisah diperdengarkan. Keluh dan kesah berubah menjadi hati dan wajah yang keras. Keprihatinan yang kurasa dalam hati, kusadari tidak akan merubah apa yang dirasakan oleh sekelilingku malam itu.
Aku telah berada di sisi dunia yang lain dari mereka. Mereka yang dulu adalah sebagian dari nafasku, bagian dari langkahku.
Tak kusangka, bahwasannya mereka yang jauh kini ada dekat bersamaku. Mereka yang satu kepala denganku kini jauh sekali, entah di mana mereka. Tak pernah kudengar, tak pernah kurasa lagi.
Baru saja aku pulang dari safari hatiku. Selepas sholat Tarawih, teman lamaku menyusulku untuk menghabiskan malam bersama-sama. Mereka bercerita tentang perusahaan tempat mereka bekerja. Cerita tentang para pejabatnya yang telah berpaling dari mereka, padahal para pejabat itu saat masih bergelut dengan besi, berjuang bersama-sama mereka untuk memperjuangkan hak sebagai buruh di sana.
Aku tersenyum, bukan mencibir. Beberapa tokoh wayang muncul di pikiranku, dialah sengkuni. Bedanya, kalau dalam cerita wayang, sengkuni itu ya hanya satu saja. Tapi dalam cerita ini, hampir semua pejabatnya mirip sengkuni. Selain sengkuni, muncul tokoh buto ijo, yang tamak dan keji.
Aku tidak menyebutkan sau namapun, yang teman-temanku, yang pejabat, yang pengkhianat, yang malaikat. Mungkin para pembaca tak akan pernah mengerti tentang kondisi yang ada bila tidak masuk ke dalam lingkungan mereka. Bukannya aku sok tahu, aku memang tidak lagi berada dlam perusahaan yang sama, tapi aku pernah menjadi bagian di sana, dan hingga saat ini, bau nafas perusahaan itu, masih dapat kurasa, masih dapat kulihat.
Aku hanya bisa prihatin. Dulunya, saat perusahaan itu masih bukan apa-apa, kami nggak perlu menjadi pengkhianat bagi yang lain. Kini saat perusahaan ini sudah mampu berdiri tegak dan tinggal pengembangan saja, mengapa sampai perlu menjadi pengkhianat bagi yang lain
Ya Alloh, hamba bersyukur Engkau keluarkan aku dari lingkungan yang menyesatkan itu. Aku bersyukur atas kasih dan sayang-Mu padaku tidak menjadikan aku bagian dari mereka. Aku bersyukur Engkau tidak mengabulkan do’aku untuk tetap stay di sana.
Minggu, 21 September 2008
Kamis, 11 September 2008
KISAH SEDIH DARI BALI
Kisah sedih dialami Desak Suarti, seorang pengerajin perak dari Gianyar, Bali. Pada mulanya, Desak menjual karyanya kepada seorang konsumen di luar negeri. Orang ini kemudian mematenkan desain tersebut. Beberapa waktu kemudian, Desak hendak mengekspor kembali karyanya. Tiba-tiba, ia dituduh melanggar Trade Related Intellectual PropertyRights (TRIPs). Wanita inipun harus berurusan dengan WTO.
"Susah sekarang, kami semuanya khawatir, jangan-jangan nanti beberapa motifasli Bali seperti `patra punggal', `batun poh', dan beberapa motif lainnya juga dipatenkan." kata Desak Suarti dalam sebuah wawancara.
Kisah sedih Desak Suarti ternyata tidak berhenti sampai di sana. Ratusan pengrajin, seniman, serta desainer di Bali kini resah menyusul dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga negara asing. Tindakan warga asing yang mempatenkan desain warisan leluhur orang Bali ini membuat seniman, pengrajin, serta desainer takut untuk berkarya.
Salah satu desainer yang ikut merasa resah adalah Anak Agung Anom Pujastawa. Semenjak dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga asing, Agung kini merasa tak bebas berkarya. "Sebelumnya, dalam satu bulan saya bisa menghasilkan 30 karya desain perhiasan perak. Karena dihinggapi rasa cemas, sekarang saya tidak bisa menghasilkan satu desain pun." ujarnya hari ini.
Potret di atas adalah salah satu gambaran permasalahan perlindungan budaya ditanah air. Cerita ini menambah daftar budaya indonesia yang dicuri, diklaim atau dipatenkan oleh negara lain, seperti Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran Jepara, Kopi Toraja, KopiAceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang Sayange, dan lain sebagainya.
LANGKAH KE DEPAN, Indonesia harus bangkit dan melakukan sesuatu. Hal inilah yang melatarbelakangi berdirinya Indonesian Archipelago CultureInitiatives (IACI), informasi lebih jauh dapat dilihat di http://budaya- indonesia. org/ . Untuk dapat mencegah agar kejadian di atas tidak terus berlanjut, kita harus melakukan sesuatu.
Setidaknya ada 2 hal perlu kita secara sinergis, yaitu:
"Susah sekarang, kami semuanya khawatir, jangan-jangan nanti beberapa motifasli Bali seperti `patra punggal', `batun poh', dan beberapa motif lainnya juga dipatenkan." kata Desak Suarti dalam sebuah wawancara.
Kisah sedih Desak Suarti ternyata tidak berhenti sampai di sana. Ratusan pengrajin, seniman, serta desainer di Bali kini resah menyusul dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga negara asing. Tindakan warga asing yang mempatenkan desain warisan leluhur orang Bali ini membuat seniman, pengrajin, serta desainer takut untuk berkarya.
Salah satu desainer yang ikut merasa resah adalah Anak Agung Anom Pujastawa. Semenjak dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga asing, Agung kini merasa tak bebas berkarya. "Sebelumnya, dalam satu bulan saya bisa menghasilkan 30 karya desain perhiasan perak. Karena dihinggapi rasa cemas, sekarang saya tidak bisa menghasilkan satu desain pun." ujarnya hari ini.
Potret di atas adalah salah satu gambaran permasalahan perlindungan budaya ditanah air. Cerita ini menambah daftar budaya indonesia yang dicuri, diklaim atau dipatenkan oleh negara lain, seperti Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran Jepara, Kopi Toraja, KopiAceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang Sayange, dan lain sebagainya.
LANGKAH KE DEPAN, Indonesia harus bangkit dan melakukan sesuatu. Hal inilah yang melatarbelakangi berdirinya Indonesian Archipelago CultureInitiatives (IACI), informasi lebih jauh dapat dilihat di http://budaya- indonesia. org/ . Untuk dapat mencegah agar kejadian di atas tidak terus berlanjut, kita harus melakukan sesuatu.
Setidaknya ada 2 hal perlu kita secara sinergis, yaitu:
- Mendukung upaya perlindungan budaya Indonesia secara hukum. Kepada rekan-rekan sebangsa dan setanah air yang memiliki kepedulian (baik bantuan ide, tenaga maupun donasi) di bagian ini, harap menggubungi IACI di email: office@budaya- indonesia. org
- Mendukung proses pendataan kekayaan budaya Indonesia. Perlindungan hukum tanpa data yang baik tidak akan bekerja secaraoptimal. Jadi, jika temen-temen memiliki koleksi gambar, lagu atauvideo tentang budaya Indonesia, mohon upload ke situs PERPUSTAKAAN DIGITAL BUDAYA INDONESIA, dengan alamat http://budaya- indonesia. org/ Jika Anda memiliki kesulitan untuk mengupload data, silahkan menggubungi IACI di email: office@budaya- indonesia.org-
Lucky Setiawan
nb: Mohon bantuanya untuk menyebarkan pesan ini ke email ke teman, mailing-list, situs, atau blog, yang Anda miliki. Mari kita dukung upaya pelestarian budaya Indonesia secara online.
Terima kasih Pak Lucky Setiawan, karena Indonesia memang harus waspada terhadap era Globalisasi, termasuk pencurian hasil budaya dan degradasi budaya yang dialami oleh generasi muda Indonesia. Tapi sudah waktunya juga bagi generasi muda (yang sudah keblinger dengan budaya asing) untuk menyadari hal ini.
Minggu, 07 September 2008
Aku Berlindung dari Hati Yang Berbolak-Balik
Kemarin aku bersama 2 teman lamaku, sebut saja Omar dan Kareem.
Omar adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan minuman terkenal di Sukabumi. Sedangkan Kareem adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan konsultan property di Batam.
Kareem datang ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Dia datang 3 hari yang lalu. Sabtu sore dia meneleponku dan langsung saja aku datang ke The Ritz Carlton, hotel tempatnya menginap. Ketika pintu lift terbuka, teleponku kembali berdering lagi. Kali ini bukan dari Kareem. Ketika ku tekan tombol hijau yang ada di keypad handphone-ku, di ujung sana kudengar suara yang sudah lama tak kudengar. Omar yang memang dari dulu ngomongnya banyak, dia bilang kalau dia ada di Jakarta. ”Kutunggu kau di lobby...” katanya seraya menutup handphone-nya.
Setibanya di depan lobby Sahid Hotel, kulihat Omar tersenyum dan langsung membuka pintu depan Porsche Cayene yang kukendarai.
”Kita ke Ritz Carlton dulu, Kareem menunggu di sana.” kataku.
”Kareem juga di Jakarta...?” Omar terheran.
”Ya, sebelum kau menelepon, dia sudah memberitahuku dulu.” Timpalku.
Untungnya Traffic Jakarta tidak terlalu macet malam minggu ini. Dari Sahid ke Ritz Carlton hanya sebentar saja. Di lobby sudah mengunggu Kareem bersama teman-temannya. Setelah ia tahu mobilku baru sampai lobby, ia melambai pada teman-temannya itu dan bergegas menyusulku.
”Assalaamu’alaikum...” salam Kareem menggantikan celotehan Omar yang memang suka ngelawak.
”Ha...ha...Alaikum salam....apa kabar Reem...?” Jawabku. ”Bagaimana kabar Ibra...sudah bisa apa dia..?” aku menanyakan kabar anaknya.
”Alhamdulillah, Ibrahim sudah TK.” jawab Kareem singkat. ”Loh, kamu juga ke Jakarta Mar...?”
”He..eh...” Omar menjawab lebih singkat.
Aku mengajak kedua teman nyentrikku ini makan di sebuah restoran di Taman Anggrek. Di tengah-tengah enaknya makan, Kareem melihat seorang wanita yang kelihatannya sedang bertugas di restoran tempat kami makan. Dia berbisik, ”Sampai kapan dia akan bekerja di luar...?”
He...he...aku tersenyum.
Lalu Omar menimpali, ”Aku pernah diskusi dengan seorang ustadz. Sang ustadz berkata bahwa sebenarnya suami istri bekerja, penghasilannya sama dengan bila hanya suami saja yang bekerja. Lalu untuk apa istri bekerja? Diam saja di rumah, itu lebih membahagiakan suami.”
He...he...aku tersenyum lagi.
”Aku dulu nggak punya rumah, Alhamdulillah sekarang aku punya rumah, sedangkan istriku nggak kerja, cuman ngasuh Ibrahim dan Aisyah. Dan dulu kondisiku sangat kekurangan. Tiket pulang ke Jakarta saja aku dibelikan oleh temanku.” Kareem mencoba menjelaskan
Kasandra, istri Kareem, sebelumnya seorang karyawan sebuah perusahaan elektronik asing di Batam. Setelah berkeluarga, Kasandra berhenti bekerja dan berkonsentrasi untuk mengurus rumah tangganya. Rumah yang disebutkan Kareem tadi, sebenarnya terbeli setelah Kasandra mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja dan mendapat uang pesangon meski diteruskan cicilannya dari penghasilan Kareem. Alhamdulillah dan Astagfirulloh. Alhamdulillah karena Alloh telah menitipkan sebuah rumah padanya. Astagrfirulloh karena dia telah menghapus peran aktif istrinya untuk membeli rumah itu.
”Iya Li, makanya kalau kamu sudah ada calon istri, nikah lah, cepetan. Nggak usah ditunda-tunda, rejeki itu selalu ada.” Omar nyeletuk lagi.
Padahal hingga saat ini pun Omar juga belum menikah....
He...he...sekali lagi aku tersenyum.
Selesai makan, kami bersenda gurau, mengenang masa lalu yang menyenangkan. Tidak terasa sudah larut. Omar minta diantar kembali ke Sahid Hotel, karena ia harus pulang ke Sukabumi pagi-pagi sekali untuk menghadiri acara di perusahaannya Minggu siang.
Setelah mengantar Omar ke Hotel, Kareem tidak minta diantar ke Ritz Carlton, ia malah ingin menginap di apartemenku. Langsung saja aku meluncur pulang bersama Kareem di dalam Cayene hitamku
Sampai di apartemen, kami ngobrol di balkon sambil merasakan hembusan angin dan melihat kerlip lampu kota dari sana.
”Reem, aku teringat kata-katamu tadi saat melihat perempuan di restoran tadi....
Saat ini, Alhamdulillah, kondisi ekonomi kita sedang baik. Jadi istri bisa di rumah, mengaasuh anak dengan baik, menyenangkan suami dan lain-lain yang tidak bermotif ekonomi aktif. Tapi, apakah sudah kita siapkan saat kondisi kita tidak lagi seperti saat ini.
Bayangkan saat kita tidak lagi bisa berdiri tegak, harus duduk di kursi roda, anak-anak butuh biaya yang nggak sedikit, kreatifitas yang ada di otak kita tidak serta merta bisa diubah menjadi uang, tabungan tak dapat lagi mengcover semua kebutuhan. Apakah kita sebagai suami akan melarang istri untuk bekerja di luar rumah dengan menjaga diri dan tetap bertanggung jawab terhadap rumah tangga. Hidup harus terus berjalan......
..., nggak semua bisa di-generalisasikan Reem”
Yang pasti, apa yang dilakukan, baik kita maupun orang lain, itulah yang terbaik yang perlu dilakukan saat itu.
Yang nggak kalah penting, berlindung kepada Alloh dari sifat hati yang suka berbolak-balik.
Alhamdulillahnya, Sabtu malam kemarin, aku mendapat pelajaran yang berarti. Dan semoga persahabatan ini semakin punya arti
Omar adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan minuman terkenal di Sukabumi. Sedangkan Kareem adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan konsultan property di Batam.
Kareem datang ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Dia datang 3 hari yang lalu. Sabtu sore dia meneleponku dan langsung saja aku datang ke The Ritz Carlton, hotel tempatnya menginap. Ketika pintu lift terbuka, teleponku kembali berdering lagi. Kali ini bukan dari Kareem. Ketika ku tekan tombol hijau yang ada di keypad handphone-ku, di ujung sana kudengar suara yang sudah lama tak kudengar. Omar yang memang dari dulu ngomongnya banyak, dia bilang kalau dia ada di Jakarta. ”Kutunggu kau di lobby...” katanya seraya menutup handphone-nya.
Setibanya di depan lobby Sahid Hotel, kulihat Omar tersenyum dan langsung membuka pintu depan Porsche Cayene yang kukendarai.
”Kita ke Ritz Carlton dulu, Kareem menunggu di sana.” kataku.
”Kareem juga di Jakarta...?” Omar terheran.
”Ya, sebelum kau menelepon, dia sudah memberitahuku dulu.” Timpalku.
Untungnya Traffic Jakarta tidak terlalu macet malam minggu ini. Dari Sahid ke Ritz Carlton hanya sebentar saja. Di lobby sudah mengunggu Kareem bersama teman-temannya. Setelah ia tahu mobilku baru sampai lobby, ia melambai pada teman-temannya itu dan bergegas menyusulku.
”Assalaamu’alaikum...” salam Kareem menggantikan celotehan Omar yang memang suka ngelawak.
”Ha...ha...Alaikum salam....apa kabar Reem...?” Jawabku. ”Bagaimana kabar Ibra...sudah bisa apa dia..?” aku menanyakan kabar anaknya.
”Alhamdulillah, Ibrahim sudah TK.” jawab Kareem singkat. ”Loh, kamu juga ke Jakarta Mar...?”
”He..eh...” Omar menjawab lebih singkat.
Aku mengajak kedua teman nyentrikku ini makan di sebuah restoran di Taman Anggrek. Di tengah-tengah enaknya makan, Kareem melihat seorang wanita yang kelihatannya sedang bertugas di restoran tempat kami makan. Dia berbisik, ”Sampai kapan dia akan bekerja di luar...?”
He...he...aku tersenyum.
Lalu Omar menimpali, ”Aku pernah diskusi dengan seorang ustadz. Sang ustadz berkata bahwa sebenarnya suami istri bekerja, penghasilannya sama dengan bila hanya suami saja yang bekerja. Lalu untuk apa istri bekerja? Diam saja di rumah, itu lebih membahagiakan suami.”
He...he...aku tersenyum lagi.
”Aku dulu nggak punya rumah, Alhamdulillah sekarang aku punya rumah, sedangkan istriku nggak kerja, cuman ngasuh Ibrahim dan Aisyah. Dan dulu kondisiku sangat kekurangan. Tiket pulang ke Jakarta saja aku dibelikan oleh temanku.” Kareem mencoba menjelaskan
Kasandra, istri Kareem, sebelumnya seorang karyawan sebuah perusahaan elektronik asing di Batam. Setelah berkeluarga, Kasandra berhenti bekerja dan berkonsentrasi untuk mengurus rumah tangganya. Rumah yang disebutkan Kareem tadi, sebenarnya terbeli setelah Kasandra mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja dan mendapat uang pesangon meski diteruskan cicilannya dari penghasilan Kareem. Alhamdulillah dan Astagfirulloh. Alhamdulillah karena Alloh telah menitipkan sebuah rumah padanya. Astagrfirulloh karena dia telah menghapus peran aktif istrinya untuk membeli rumah itu.
”Iya Li, makanya kalau kamu sudah ada calon istri, nikah lah, cepetan. Nggak usah ditunda-tunda, rejeki itu selalu ada.” Omar nyeletuk lagi.
Padahal hingga saat ini pun Omar juga belum menikah....
He...he...sekali lagi aku tersenyum.
Selesai makan, kami bersenda gurau, mengenang masa lalu yang menyenangkan. Tidak terasa sudah larut. Omar minta diantar kembali ke Sahid Hotel, karena ia harus pulang ke Sukabumi pagi-pagi sekali untuk menghadiri acara di perusahaannya Minggu siang.
Setelah mengantar Omar ke Hotel, Kareem tidak minta diantar ke Ritz Carlton, ia malah ingin menginap di apartemenku. Langsung saja aku meluncur pulang bersama Kareem di dalam Cayene hitamku
Sampai di apartemen, kami ngobrol di balkon sambil merasakan hembusan angin dan melihat kerlip lampu kota dari sana.
”Reem, aku teringat kata-katamu tadi saat melihat perempuan di restoran tadi....
Saat ini, Alhamdulillah, kondisi ekonomi kita sedang baik. Jadi istri bisa di rumah, mengaasuh anak dengan baik, menyenangkan suami dan lain-lain yang tidak bermotif ekonomi aktif. Tapi, apakah sudah kita siapkan saat kondisi kita tidak lagi seperti saat ini.
Bayangkan saat kita tidak lagi bisa berdiri tegak, harus duduk di kursi roda, anak-anak butuh biaya yang nggak sedikit, kreatifitas yang ada di otak kita tidak serta merta bisa diubah menjadi uang, tabungan tak dapat lagi mengcover semua kebutuhan. Apakah kita sebagai suami akan melarang istri untuk bekerja di luar rumah dengan menjaga diri dan tetap bertanggung jawab terhadap rumah tangga. Hidup harus terus berjalan......
..., nggak semua bisa di-generalisasikan Reem”
Yang pasti, apa yang dilakukan, baik kita maupun orang lain, itulah yang terbaik yang perlu dilakukan saat itu.
Yang nggak kalah penting, berlindung kepada Alloh dari sifat hati yang suka berbolak-balik.
Alhamdulillahnya, Sabtu malam kemarin, aku mendapat pelajaran yang berarti. Dan semoga persahabatan ini semakin punya arti
I Miss You Bunda
Saat matahari belum kukenal kau sudah menyayangiku
Saat udara belum kurasa kau sudah menyayangiku
Bahkan umurku belum terhitung kau sudah mendambaku
Dan kau telah menungguku meski namaku belum terpikirkan
Geliat demi geliatku kau rasa
Meringis dan meradang adalah hal biasa
Satu usapan telah menenangkanku
Kenakalankupun telah kau rasa
Puji syukur kehadirat-Mu Tuhan
Ibuku masih ada saat jeritan pertamaku didengarnya
Setelah ia menahan nafasnya
Setelah ia merasakan otot diseluruh tubuhnya menegang seakan putus sekala itu
Satu demi satu aku berjalan dalam tahap pertumbuhanku
Saat hanya bisa merepotkan
Saat hanya pandai membangunkannya saat matanya seharusnya masih terkatup
Tapi tak sedikitpun aku merasakan keberatannya mengasuhku dalam peliharaan-Mu
Aku berdiri di atas kekhawatirannya
Aku ada di atas gusarnya
Aku diam dalam senyumnya
Aku sunyi dalam tangisnya
Aku teringat saat-saat yang sangat berat baginya. Saat yang dicintainya tak lagi berdamping di sisinya. Sangat berat. Tangiskupun tersembunyi dari pandangannya. Karena aku tak mau hidupnya semakin berat oleh raut kusutku.
Hingga umurku yang saat ini
Belum juga aku dapat menyayangimu
Hingga jarakku yang begitu jauh darimu
Tidak juga aku beranjak untuk mengukir senyummu
Mendengar suaramu saja tak sanggup kunyatakan setiap hari
Apalagi untuk mencium tanganmu yang telah mengasuhku
Saat kau katakan untuk tegak dalam hidupku
Saat itu pula aku kembali pada waktu engkau tegak dalam mempertahankan hidup untuk anak-anakmu
Saat udara belum kurasa kau sudah menyayangiku
Bahkan umurku belum terhitung kau sudah mendambaku
Dan kau telah menungguku meski namaku belum terpikirkan
Geliat demi geliatku kau rasa
Meringis dan meradang adalah hal biasa
Satu usapan telah menenangkanku
Kenakalankupun telah kau rasa
Puji syukur kehadirat-Mu Tuhan
Ibuku masih ada saat jeritan pertamaku didengarnya
Setelah ia menahan nafasnya
Setelah ia merasakan otot diseluruh tubuhnya menegang seakan putus sekala itu
Satu demi satu aku berjalan dalam tahap pertumbuhanku
Saat hanya bisa merepotkan
Saat hanya pandai membangunkannya saat matanya seharusnya masih terkatup
Tapi tak sedikitpun aku merasakan keberatannya mengasuhku dalam peliharaan-Mu
Aku berdiri di atas kekhawatirannya
Aku ada di atas gusarnya
Aku diam dalam senyumnya
Aku sunyi dalam tangisnya
Aku teringat saat-saat yang sangat berat baginya. Saat yang dicintainya tak lagi berdamping di sisinya. Sangat berat. Tangiskupun tersembunyi dari pandangannya. Karena aku tak mau hidupnya semakin berat oleh raut kusutku.
Hingga umurku yang saat ini
Belum juga aku dapat menyayangimu
Hingga jarakku yang begitu jauh darimu
Tidak juga aku beranjak untuk mengukir senyummu
Mendengar suaramu saja tak sanggup kunyatakan setiap hari
Apalagi untuk mencium tanganmu yang telah mengasuhku
Saat kau katakan untuk tegak dalam hidupku
Saat itu pula aku kembali pada waktu engkau tegak dalam mempertahankan hidup untuk anak-anakmu
Langganan:
Postingan (Atom)