Senin, 14 Januari 2008

Purwakarta, 13 Januari 2008


Kemarin, 13 Januari 2008, saya pergi ke satu desa yang terkenal dengan kerajinan keramik di Purwakarta. Plered nama desanya. Maksud dan tujuannya hanya sekedar nonton bola. Yang main temen-temen kerja di perusahaan lama.

Jamuan Sang Tuan Rumah lumayan mengenyangkan. Kami diajak makan siang dengan menu khas kampung. Nasi putih dengan ikan mujahir, sambel bawang, sudah. Ada juga bungkusan nasi ayam.


Ada 3 games yang harus dimainkan.

Game 1 dimainkan. Saya benar-benar ingin tertawa. Atau bahkan terbahak. Coba bayangkan, karyawan pabrik (yang termuda katakanlah umur 18-19 tahun) harus melawan tim yang anggotanya terdiri atas usia 10 hingga 15 tahun. Siapa yang nggak ingin tertawa ? Lebih ironisnya lagi, tim tua (karyawan) kalah 1-0.

Baru seusai game 1 dimainkan, ceritaku ini akan kumulai.

Usai game 1 dimenangkan oleh tim muda (usia 10-15 tahun), game 2 siap dimulai. Penonton mulai berdatangan diikuti para pedagang keliling. Ada satu pedagang yang menarik perhatian saya. Seorang ibu, usia sekitar 35-38 tahun, kulit coklat khas Indonesia, dengan penutup kepala, membuka koper kayu yang dia bawa di atas kepala. Isinya macam-macam. Rokok, kratingdeng, kacang, permen, aqua cup, milkuat. Nggak terlalu banyak, sesuai muatan koper kayunya.

Dia gelar dagangannya. Beberapa penonton membeli barang dagangannya, tapi nggak banyak. Prediksi saya dalam 3 games bola omzetnya 15.000 IDR. Mungkin itu juga yang membuat dia harus berlarian dan berebut plastik aqua cup bekas minum saat tim bola turun minum.

Belum selesai istirahat babak 1, beberapa pemain masih minum, beberapa membuang cup plastik aqua. Tiba-tiba perempuan itu memungut cup-cup bekas dan dikumpulkan. Mungkin untuk dijual.

Sejenak saya menghentikan pandangan di sana. Tepat pada perempuan dengan cup plastik bekas. Adakah ia bisa mencukupi kebutuhan untuk keluarganya dengan apa yang kerjakan.....

Heeeehhhhhh......helaan nafas saya nggak merubah hidup. Helaan nafas itu juga nggak merubah apa-apa kecuali mengagetkan anak yang dari tadi berada dipangkuan.

Saya yakin bahwa nggak hanya perempuan pedagang itu satu-satunya potret kehidupan middle low di sekitar kita.

Bisa nggak dibayangkan:
  • Berapa keuntungan mereka dalam sebulan...?
  • Bisakah dengan keuntungan itu mereka dapat hidup layak, untuk makan, sekolah anak-anak, bayar listrik (kalau di rumah ada listrik)...?
  • Bagaimana mereka bertahan hidup di antara keadaan yang berbeda dari rakyat sekitar dia?



Jakarta yang hingar bingar dengan cafe, restoran, mall, mobil mewah...

Berjarak sekian kilometer dari Jakarta..., sekian kilometer dari Bandung...

Keadaan sunyi senyap...

Lampu kerlap-kerlip seperti bintang, nggak cukup untuk menerangi mata yang sudah rabun


Nama desa cukup terkenal sebagai sentra kerajinan keramik
Nggak cukup kuat untuk mengangkat kehidupan orang-orang yang hidup di dalamnya untuk hidup dengan baik

Apa yang bisa kita bagi untuk generasi mendatang, hingga hidup mereka nanti tidak meneruskan potret kehidupan miskin nenek moyang mereka.

Apa yang bisa kita wariskan untuk anak-anak kita...?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nek ngomong sing gena lo yo...