Selasa, 16 Juni 2009

Minggu Pagi






Hari Minggu, 14 Juni 2009. Ada sedih yang diam-diam menyelinap di lipatan hati saya. Sebuah keprihatinan yang dengan berani dihadapi.

Kurang lebih 2 bulan yang lalu, adik ipar teman lamaku, sebut saja dia Budi, tinggal di rumahku. Sebelumnya dia kost dengan teman dari kakak iparnya. Karena teman sekamarnya itu menikah, maka Budi tinggal di rumahku.

Selama 2 bulan itu, terus terang aku merasa sedikit terbantu. Paling tidak ada teman ngobrol saat insomnia datang, ada teman makan saat tengah malam kelaparan, ada yang bangunin buat bangun pagi supaya nggak telat masuk kerja. Tapi ya sudah...Budi sudah ambil langkah. Aku nggak mau memaksakan apa yang ada di kepalaku, meski di kepalaku, langkah yang dia lakukan tidak merubah kondisinya.

Memang kakak Budi, sebut saja dia Wati, masih baru sampai Jakarta. Ceritanya baru merantau. Baru ke Jakarta. Wati tinggal dengan teman kakaknya, istri dari teman lamaku. Wati masih merasa takut saat pulang kerja, maklumlah track yang harus ditempuh dari tempatnya kerja ke tempat kost lumayan jauh.

Budi terlihat sangat bertanggung jawab atas keberadaan dan kenyamanan kakaknya. Hingga pada hari Minggu 14 Juni 2009 lalu, dia menemukan satu tempat kost.

Hari itu, saat Budi keluar,aku masih tidur. Hari Minggu adalah hari merdeka untuk melepaskan kepenatan. Aku terbangun kurang lebih jam 9.00 pagi. Budi membawa motor milik kakak iparnya. Melihat aku sudah bangun, dia berpamitan. Dia kemasi pakaiannya yang tersimpan di lemariku.

Melihat dia mengemasi pakaiannya, aku masih nonton acara tv. Menjelang dia selesai berkemas, aku mandi dan mengantar dia ke tempat barunya.

Nggak jauh dari rumahku. Bila ditempuh dengan jalan kaki, kurang lebih hanya 15 menit. Sesampai di sana... Ya Alloh, hatiku sedih sekali. Sangat sedih. Layak...memang nggak sangat layak, tapi cukuplah. Tempat kost ku di Gresik dulu lebih buruk lagi.

Sedihku sangat menyesak saat aku membantu Budi memasangkan koran sebagai pengganti tirai di jendelanya. Ya Alloh...sebegitu besar keinginan dia untuk kost.

Tapi sekali lagi sudah lah...aku hanya bisa membantu saat dia dan atau siapapun butuh bantuanku. Aku nggak mau memaksa, khawatir dibilang terlalu banyak menuntut dari sebuah pertemanan. Hanya saja, pintu rumahku selalu terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nek ngomong sing gena lo yo...