Minggu, 07 September 2008

Aku Berlindung dari Hati Yang Berbolak-Balik

Kemarin aku bersama 2 teman lamaku, sebut saja Omar dan Kareem.

Omar adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan minuman terkenal di Sukabumi. Sedangkan Kareem adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan konsultan property di Batam.

Kareem datang ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Dia datang 3 hari yang lalu. Sabtu sore dia meneleponku dan langsung saja aku datang ke The Ritz Carlton, hotel tempatnya menginap. Ketika pintu lift terbuka, teleponku kembali berdering lagi. Kali ini bukan dari Kareem. Ketika ku tekan tombol hijau yang ada di keypad handphone-ku, di ujung sana kudengar suara yang sudah lama tak kudengar. Omar yang memang dari dulu ngomongnya banyak, dia bilang kalau dia ada di Jakarta. ”Kutunggu kau di lobby...” katanya seraya menutup handphone-nya.

Setibanya di depan lobby Sahid Hotel, kulihat Omar tersenyum dan langsung membuka pintu depan Porsche Cayene yang kukendarai.

”Kita ke Ritz Carlton dulu, Kareem menunggu di sana.” kataku.

”Kareem juga di Jakarta...?” Omar terheran.

”Ya, sebelum kau menelepon, dia sudah memberitahuku dulu.” Timpalku.

Untungnya Traffic Jakarta tidak terlalu macet malam minggu ini. Dari Sahid ke Ritz Carlton hanya sebentar saja. Di lobby sudah mengunggu Kareem bersama teman-temannya. Setelah ia tahu mobilku baru sampai lobby, ia melambai pada teman-temannya itu dan bergegas menyusulku.

”Assalaamu’alaikum...” salam Kareem menggantikan celotehan Omar yang memang suka ngelawak.

”Ha...ha...Alaikum salam....apa kabar Reem...?” Jawabku. ”Bagaimana kabar Ibra...sudah bisa apa dia..?” aku menanyakan kabar anaknya.

”Alhamdulillah, Ibrahim sudah TK.” jawab Kareem singkat. ”Loh, kamu juga ke Jakarta Mar...?”

”He..eh...” Omar menjawab lebih singkat.

Aku mengajak kedua teman nyentrikku ini makan di sebuah restoran di Taman Anggrek. Di tengah-tengah enaknya makan, Kareem melihat seorang wanita yang kelihatannya sedang bertugas di restoran tempat kami makan. Dia berbisik, ”Sampai kapan dia akan bekerja di luar...?”

He...he...aku tersenyum.

Lalu Omar menimpali, ”Aku pernah diskusi dengan seorang ustadz. Sang ustadz berkata bahwa sebenarnya suami istri bekerja, penghasilannya sama dengan bila hanya suami saja yang bekerja. Lalu untuk apa istri bekerja? Diam saja di rumah, itu lebih membahagiakan suami.”

He...he...aku tersenyum lagi.

”Aku dulu nggak punya rumah, Alhamdulillah sekarang aku punya rumah, sedangkan istriku nggak kerja, cuman ngasuh Ibrahim dan Aisyah. Dan dulu kondisiku sangat kekurangan. Tiket pulang ke Jakarta saja aku dibelikan oleh temanku.” Kareem mencoba menjelaskan

Kasandra, istri Kareem, sebelumnya seorang karyawan sebuah perusahaan elektronik asing di Batam. Setelah berkeluarga, Kasandra berhenti bekerja dan berkonsentrasi untuk mengurus rumah tangganya. Rumah yang disebutkan Kareem tadi, sebenarnya terbeli setelah Kasandra mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja dan mendapat uang pesangon meski diteruskan cicilannya dari penghasilan Kareem. Alhamdulillah dan Astagfirulloh. Alhamdulillah karena Alloh telah menitipkan sebuah rumah padanya. Astagrfirulloh karena dia telah menghapus peran aktif istrinya untuk membeli rumah itu.

”Iya Li, makanya kalau kamu sudah ada calon istri, nikah lah, cepetan. Nggak usah ditunda-tunda, rejeki itu selalu ada.” Omar nyeletuk lagi.

Padahal hingga saat ini pun Omar juga belum menikah....

He...he...sekali lagi aku tersenyum.

Selesai makan, kami bersenda gurau, mengenang masa lalu yang menyenangkan. Tidak terasa sudah larut. Omar minta diantar kembali ke Sahid Hotel, karena ia harus pulang ke Sukabumi pagi-pagi sekali untuk menghadiri acara di perusahaannya Minggu siang.

Setelah mengantar Omar ke Hotel, Kareem tidak minta diantar ke Ritz Carlton, ia malah ingin menginap di apartemenku. Langsung saja aku meluncur pulang bersama Kareem di dalam Cayene hitamku

Sampai di apartemen, kami ngobrol di balkon sambil merasakan hembusan angin dan melihat kerlip lampu kota dari sana.

”Reem, aku teringat kata-katamu tadi saat melihat perempuan di restoran tadi....

Saat ini, Alhamdulillah, kondisi ekonomi kita sedang baik. Jadi istri bisa di rumah, mengaasuh anak dengan baik, menyenangkan suami dan lain-lain yang tidak bermotif ekonomi aktif. Tapi, apakah sudah kita siapkan saat kondisi kita tidak lagi seperti saat ini.

Bayangkan saat kita tidak lagi bisa berdiri tegak, harus duduk di kursi roda, anak-anak butuh biaya yang nggak sedikit, kreatifitas yang ada di otak kita tidak serta merta bisa diubah menjadi uang, tabungan tak dapat lagi mengcover semua kebutuhan. Apakah kita sebagai suami akan melarang istri untuk bekerja di luar rumah dengan menjaga diri dan tetap bertanggung jawab terhadap rumah tangga. Hidup harus terus berjalan......

..., nggak semua bisa di-generalisasikan Reem”

Yang pasti, apa yang dilakukan, baik kita maupun orang lain, itulah yang terbaik yang perlu dilakukan saat itu.

Yang nggak kalah penting, berlindung kepada Alloh dari sifat hati yang suka berbolak-balik.

Alhamdulillahnya, Sabtu malam kemarin, aku mendapat pelajaran yang berarti. Dan semoga persahabatan ini semakin punya arti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nek ngomong sing gena lo yo...